Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah karena
guru-guru dan dosen-dosennya – maaf – sebagian besar hanya pintar 5 centi dan
mereka mau murid-murid nya sama seperti mereka (Rheinlad Khasali).
Postingan President PPIJ Kumamoto, Raden Dharmawan, di miling list beberapa
saat yang lalu melecut perdebatan panjang tentang esensi pendidikan yang kita
jalani, antara keyakinan akan keberhasilannya dengan kekawatiran-kekawatiran
kegagagalannya. Keyakinan akan keberhasilan itu muncul seiring bertambah
pedulinya pemerintah terhadap pendidikan. Program-program unggulan pemerintah
semisal BOS, RSBI, buku elektronik, sertifikasi, diyakini akan menambah daya
bakar kinerja pendidikan kita. Di sisi lain, kekawatiran-kekawatiran yang
muncul banyak terkait dengan persoalan output dan kinerja tenaga kependidikan
yang juga masih sangat lamban, bahkan terkesan jalan di tempat. Terjebaknya
banyak pendidik pada hasil ketimbang proses mendorong nilai raport lebih
penting dari penguasaan dan internalisasi ilmu dalam kehidupan sang anak didik.
Karenanya telah banyak benang kusut yang diurai untuk mencaritahu di balik
semua fenomena pendidikan kita terkini ini. Dan uraian Rheinald Khasali dalam
cuplikan tulisan di atas mungkin semakin memperjelas titik pusat kelemahan
pendidikan kita.
Penulis dan sebagian rekan yang membacanya baru menyadari betapa kita
selama ini merasa bangga dan sangat nyaman berada di volume 5 centi itu. Gelar
berjubel dan jabatan tinggi yang kita sandang tenyata hampa rasanya karena
mungkin kita hanyalah kelompok yang 5 centi itu. Ya, kelompok 5 centi itu!. Rheinald
Khasali mendefiniskan kelompok 5 centi itu sebagai:
Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport dan transkrip
nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala
bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.
Cuplikan tulisan pakar majanemen UI, Rheinald Khasali, berjudul Sekolah 5 Centi
di atas seolah-olah menjadi tamparan terdahsyat yang baru kita sadari. Kondisi status
quo (comfort zone) selama ini menjadikan kita nyaman dengan keterbatasan
dan kelemahan-kelemahan yang kita miliki dalam membelajarkan anak didik. Kita
menjadi sangat aman dan nyaman dengan metode dan gaya mengajar kita yang
seringkali tidak kita sadari kelemahannya, atau justru kita berpura-pura tidak
menyadarainya ya?.
Hal ini menjadi sangat wajar mengingat pola dan metode pembelajaran yang
kita terima dan jalankan selama ini banyak berpusat pada guru. Kondisi ini yang
menyebabkan guru menjadi seolah-olah sumber utama pengetahuan bagi sang anak
didik. Adigium guru menang satu malam menjadikan guru figur yang dianggapnya
paling tahu dan paling benar. padahal….. ?
Terkooptasinya pemikiran kita pada aspek-aspek kognisi telah menuntun pada
pembelajaran yang parsial, mengagungkan intelegensi dan mengenyampingkan aspek
krusial lainnya. Lihatlah nasib dan kondisi kelas-kelas PPKN, sejarah, agama,
dan kesenian, serasa hampa karena sekolah berebut prestasi di bidang sains, aspek
moralitas dan otak kanan terabaikan, bahkan gurunya pun menjadi kalah populer
dengan mereka yang berbasis sains, karena nilai raport lebih penting dari
lainnya.
Menyadari akan fakta bahwa kepintaran kita hanyalah 5 centi, maka janganlah
saling mencaci-maki saat anggota dewan terhormat berbuat korupsi di
proyek-proyek APBN, pun juga janganlah mencaci-maki jika atasan atau para
pemimpin menjadikan kepentingan-kepentingan dan ambisi pribadi sebagai
konsiderannya dalam mengambil kebijakan merugikan rakyat!
Kepintaran kita yang hanya 5 centi itu turut berperan besar menjadikan
negara kita carut-marut tak berujung semacam ini. Padahal pendidikan diyakini
menjadi salah satu gerbang utama menuju perubahan prilaku dan budaya yang
sangat berpengaruh bagi perjalanan suatu bangsa. Mengingat begitu besarnya
peran pendidikan bagi kemajuan bangsa itulah Kaisar Jepang beberapa saat
setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom nuklir tentara sekutu berkata, “Berapa
banyak guru yang tersisa?” Pertanyaan ini sangat penting sekali dijadikan
rujukan terhadap kemajuan Jepang, baik dari aspek peradabannya maupun teknologi
yang telah diciptakannya, karena mereka peduli terhadap gurunya, guru-guru yang
tidak hanya pintar 5 centi tapi bermeter-meter, guru-guru yang tidak hanya
menomersatukan hasil nilai mata pelajaran yang diampunya, namun yang menguatkan
anak didiknya dengan fondasi cara belajar, moralitas, dedikasi, daya juang, dan
kemandirian.
Apa pun alasan di balik kelemahan itu, masih ada waktu untuk memperbesar
volume itu menjadi lebih baik. Kita bersyukur bahwa pencerahan yang kita dapat
akan bermanfaat untuk tidak saja menjadikan kita 1 meter lebih baik, bahkan lebih
lagi dan lagi. Seorang pendidik yang tidak merasa bangga karena nilai raport
mata pelajaran yang diampunya istimewa, atau merasa hancur saat nilai anak
didiknya jatuh. Namun, seorang pendidik yang bangga telah mampu membuka
cakrawala berfikir dan imajinasi sang anak didik untuk terus mengepakkan sayap
menuju impian-impian besarnya. Seorang pendidik yang tidak terkungkung oleh seperangkat
kurikulum, ruang kelas atau institusi sekolah, namun menjadikan ia bagian dari
pendidikan universal. Seorang pendidik yang ikhlas mengangkat anak didiknya
dari keterpurukan. Seorang pendidik yang mampu menauladankan kebajikan dan
kebaikan bagi anak didiknya, bukan kebobrokan dan kehancuran. Kita pasti bisa
menjadi guru pintar bermeter- meter! karena kita memang diciptakan untuk itu: Menjadi
lentera penerang kegelapan bangsa!
Mengakiri tulisan ini, saya cuplikkan tulisan Rheinald Khasali lainnya:
Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke,
dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 centi, atau
50 centi. Seperti otak orang tua yang harus di latih, fisik anak-anak muda juga
harus disekolahkan. Dan sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di
alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan
bangun.
oleh: Heriyanto Nurcahyo
Kompasiana, Kamis, 23 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar