Dalam kaidah hukum Islam, ada yang dikenal dengan menimbang manfaat dan madlarat dalam masalah muamalat, bukan ibadah. Jika manfaatnya lebih besar dari madlaratnya, maka sesuatu itu hukumnya boleh. Tapi jika madlaratnya lebih besar dari manfaatnya, maka sesuatu itu hukumnya tidak boleh. Timbangan itu bisa dilakukan di awal ataupun di tengah (sebagai bentuk evaluasi).
Isu Ujian Nasional sudah lama menjadi polemik di kalangan para pakar dan ahli, ada yang menolak dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi, ada pula yang mendukung untuk diteruskan. Karena polemik dan perdebatan tersebut tidak diikat dengan suatu standar, maka hasilnya adalah mengikuti kemauan pemerintah yang berkuasa.
Sebagai seorang yang sudah belasan tahun menjadi guru dan tentunya menjadi murid selama belasan tahun pula sebelumnya, saya mencoba menarik butiran-butiran manfaat dari UN seperti yang disampaikan oleh para tokoh, pakar, ahli, dan pejabat pendidikan. Jika disimpulkan maka tujuan UN adalah (1) Standarisasi pendidikan secara nasional, yang kemudian berdampak pada (2) peningkatan mutu pendidikan. Dua tujuan itulah yang berhasil saya peras dari pengamatan saya.
Jika dihitung masa yang ditempuh oleh UN dan saudara tuanya: EBTANAS, maka UN ini sudah melalui masa puluhan tahun. Tapi adakah standarisasi pendidikan nasional sudah terwujud? Bagaimanakah sosok standar pendidikan nasional? Sudahkah mutu pendidikan nasional meningkat? Dari level apa ke level apa? Ataukah peningkatan standar nilai kelulusan dari 4 ke 5 bisa mewakili peningkatan mutu pendidikan nasional?
Mata dan telinga saya ternyata gagal menangkap tanda-tanda tercapainya tujuan penyelenggaraan UN tersebut. Yang tertangkap oleh mata dan telinga justru madlarat-madlarat yang memilukan dari tahun ke tahun, betapa seorang siswa yang pandai dan cerdas dan sudah diterima di perguruan tinggi di luar negeri mencoba menghabisi hidupnya karena kecewa dan malu karena dinyatakan tidak lulus dalam 3 hari UN; betapa banyak generasi bangsa yang shock mentalnya karena prestasinya yang gemilang selama 3 tahun tersapu habis oleh 3 hari UN; betapa banyak para guru yang harus membius hati nuraninya untuk berbuat curang dan mengajak murid-murid yang selama ini dididik untuk menjadi orang baik menjadi orang-orang yang curang; betapa guru hancur-lebur wibawanya ketika proses ujian harus dijaga oleh aparat keamanan; dan... supaya tidak terlalu panjang... kasus yang paling hangat: bagaimana seorang ibu dan anak yang shaleh diusir dan dikucilkan oleh orang sekampung yang terprovokasi oleh ‘setan’ dan seorang siswa yang dipaksa menandatangani pernyataan untuk tidak membocorkan kecurangan saat UN.
Banyak kawan saya yang mengatakan kepada saya bahwa UN ini adalah proyek, maka kalau UN distop maka hilanglah satu sumber income. Saya jawab, “Ah... jangan terlalu kejamlah! Kenapa hanya untuk beberapa rupiah saja tega mengorbankan jutaan generasi bangsa dan menaruhkan masa depan bangsa?!”
Ayo kita timbang lagi UN ini! Kita buat mahkamah bangsa dan kita letakkan manfaat dan madlarat dari UN. Kalau ternayata madlaratnya lebih besar, tolong relakan untuk menghentikan UN, demi anak-cucu kita sendiri, demi generasi bangsa kita sendiri.
Amir Ma’ruf Husein
Taliwang, 15 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar