Pembaca yang mulia! Pernahkah anda mendengar bisikan dari Allah Yang Maha Pengasih? Camkan hadits qudsy berikut:
“Hai anak Adam, Aku sakit tetapi engkau enggan menjenguk-Ku.”
“Wahai Tuhan, bagaimana aku akan menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?”
“Tidakkah engkau ingat ada hamba-Ku yang sakit tapi engkau enggan menjenguknya. Andaikan engkau menjenguknya, tentu engkau akan mendapati-Ku di sisinya.
“Hai anak Adam, Aku lapar tetapi engkau tidak memberi-Ku makan.”
“Wahai Tuhan, bagaimana aku akan memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?”
“Tidakkah engkau ingat ada hamba-Ku yang meminta makan kepadamu tapi engkau enggan memberinya makan. Andaikan engkau memberinya makan, tentu engkau akan mendapati-Ku di sisinya.”
“Hai anak Adam, Aku haus tetapi engkau tidak memberi-Ku minum.”
“Wahai Tuhan, bagaimana aku akan memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?”
“Tidakkah engkau ingat ada hamba-Ku yang meminta minum kepadamu tapi engkau enggan memberinya minum. Andaikan engkau memberinya minum, tentu engkau akan mendapati-Ku di sisinya.”
(HR. Muslim)
Sayangilah yang di bumi, Yang di langit akan menyayangimu
Jika kita menghayati bisikan Allah dalam hadits qudsi di atas, kita akan merasakan betapa Allah hendak mendekati kita dengan cinta dan kasih-sayang-Nya, namun untuk itu Allah hendak menguji kita terlebih dahulu, apakah kita memang layak atau tidak? Andaikan manusia berkenan menjenguk saudaranya yang sakit, atau memberi makan saudaranya yang lapar, atau memberi minum saudaranya yang haus dahaga, atau memberi bantuan kepada saudaranya yang membutuhkan, dia akan mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah saat dia memberi saudaranya.
Mengapa Allah menguji kelayakan kita dengan cara seperti itu?
Dua nama Allah dari 99 al-asma’ul husna adalah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang). Kedua nama tersebut berasal dari kata rahmat (kasih sayang). Kedua nama itulah yang diletakkan oleh Allah dalam kalimat yang paling sering diucapkan oleh manusia, kalimat bismillahirrahmanirrahim, kalimat yang menjadi bagian dari rukun bacaan shalat, kalimat yang dianjurkan kepada umat Islam untuk membacanya setiap kali hendak memulai suatu pekerjaan yang baik.
Pilihan kedua nama tersebut memberi isyarat bahwa karena rahmat-Nyalah Allah menciptakan alam semesta, menciptakan segala apa yang ada di bumi dan di langit. Dengan rahmat-Nya Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengembangbiakkan hewan. Dengan rahmat-Nya Allah menyimpan berbagai kekayaan di tanah, laut, dan angkasa. Dengan rahmat-Nya pula Allah menciptakan manusia, memberinya kehidupan, mengarunianya hidayah, menganugerahinya rizki, dan melindunginya. Semua karena rahmat-Nya yang maha luas tak bertepi, maha banyak tak berbatas.
Oleh karenanya, Allah juga menghendaki agar kehidupan di muka bumi ini dipenuhi dengan rahmat, diwarnai dengan kasih-sayang.
Inilah benang merah yang menghubungkan cinta dan kasih-sayang Allah kepada hamba-Nya dengan cinta dan kasih-sayang hamba kepada sesamanya. Manusia yang membuang cinta dan kasih-sayang kepada sesama berarti telah memutuskan benang merah tersebut. Itulah jawaban dari pertanyaan di atas.
Tidak semua harta kita jadi rizki kita
Iman kita mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah milik Allah. Manusia tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada pada manusia hanya titipan Allah belaka. Harta kita, ilmu kita, keluarga kita, badan kita, bahkan nyawa kita, semuanya milik Allah yang dititipkan kepada kita.
Belum tentu semua yang sudah ada di tangan kita menjadi rizki kita, karena yang menjadi rizki kita hanya 3 saja: yang sudah kita makan, yang sudah kita pakai sampai habis atau rusak, dan yang sudah kita sedekahkan.
1) Rizki yang sudah kita makan adalah harta yang sudah kita belanjakan untuk makan minum kita, sehingga kita bisa hidup dan tumbuh-kembang.
2) Rizki yang sudah kita pakai sampai habis atau rusak adalah harta yang sudah kita belanjakan untuk keperluan lain selain makan dan minum. Kita membeli pakaian yang kemudian kita pakai dan pada saatnya pakaian itu sudah tidak bisa kita pakai lagi karena sudah kekecilan atau karena sudah rusak; kita membeli peralatan yang mendukung kehidupan kita dan peralatan itu sudah kita pakai, sudah kita ambil manfaatnya, sampai peralatan itu rusak atau mungkin hilang; kita membeli buku dan sudah kita petik ilmunya sampai buku itu rusak atau hilang; kita menggunakan harta untuk haji atau umrah; dan begitu seterusnya.
3) Rizki yang kita sedekahkan adalah harta yang kita keluarkan bukan untuk kepentingan kita, tetapi untuk orang lain, seperti zakat, sedekah, wakaf, membangun masjid, mushalla, dan lain sebagainya.
Dua rizki yang pertama adalah manfaat yang kita nikmati selama hidup di dunia, kehidupan yang serba terbatas dan fana’, sedangkan rizki yang ketiga, yaitu yang kita sedekahkan adalah manfaat yang kita tabung untuk kita nikmati kelak di akherat, kehidupan yang jauh lebih baik dan abadi.
Apa yang sudah jadi rizki kita sajalah yang menjadi harta kita yang sejati, dan belum tentu semua harta kita menjadi rizki kita, tetapi Rasulullah mengajarkan suatu cara agar semua harta yang ada pada kita bisa menjadi rizki kita, yaitu dengan zakat dan sedekah, memberi kepada saudara-saudara kita yang lemah. Rasulullah menegaskan bahwa zakat dan sedekah bisa membentengi harta yang ada, bahkan bisa mengembangkan harta tersebut.
Allah yang memberi saat kita memberi
Kembali ke hadits qudsy di atas kita bisa menangkap suatu pesan bahwa Allah pasti akan memberi hamba-hamba-Nya yang sakit, yang lapar, yang haus dahaga, yang membutuhkan, yang fakir, yang miskin, yang lemah. Pesan tersebut terkandung dalam isyarat firman-Nya: “Tentu engkau akan mendapati-Ku di sisinya.”
Allah tetap akan memberi makan dan minum hamba-hamba-Nya yang lapar dan haus, Allah tetap akan mencukupi kebutuhan para fakir dan miskin, tetapi tentu tidak serta-merta memunculkan makanan dan minuman, atau segepok uang, meskipun Allah Maka Kuasa untuk melakukan hal seperti itu. Cara yang digunakan oleh Allah dalam memberikan rizki kepada hamba-hamba-Nya adalah melalui media atau sarana. Kita mendapatkan rizki melalui sarana orang yang membayar jasa atau tenaga kita, atau yang membeli barang yang kita jual. Namun tidak semua yang kita terima adalah untuk kita saja, tetapi untuk mereka yang menjadi tanggungjawab kita, dan – tidak boleh dilupakan – juga untuk orang lain yang lemah.
Perhatikan sabda Rasulullah berikut:
“Sesungguhnya Allah memiliki beberapa orang yang Dia titipkan pada mereka nikmat-nikmat-Nya selama mereka membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin dan selama kaum muslimin tidak bosan dan enggan dari bantuan mereka. Jika kaum muslimin sudah enggan, maka Allah akan memindahkan nikmat-Nya kepada orang-orang lain. (HR. Thabrani)
Pengertian hadits tersebut adalah bahwa Allah menitipkan rizki sebagian hamba-Nya kepada orang kaya yang dipilih oleh Allah sebagai penyalur rizki. Allah akan tetap menggunakan orang kaya tersebut sebagai penyalur rizki dengan dua syarat: (1) orang kaya tersebut menyalurkan rizki kaum muslimin yang lemah melalui zakat dan sedekah. (2) kaum muslimin yang lemah tidak segan menerima zakat dan sedekah dari orang kaya tersebut, dalam arti ketika menerima zakat atau sedekah, mereka tidak merasa dihina atau dilecehkan, harga diri mereka tidak jatuh, dan mereka tidak merasa sulit, susah dan payah untuk mendapatkan haknya tersebut. Jika salah satu dari dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka Allah akan menggunakan orang kaya tersebut lagi sebagai penyalur dan menggantikannya dengan orang lain. Tentulah jika sudah tidak menjadi penyalur rizki, kekayaan orang tersebut akan hilang.
Tangan kitakah yang dipinjam oleh Allah?
Sebenarnya Allahlah yang memberi rizki ketika kita memberi zakat dan sedekah kepada hamba-hamba-Nya yang lemah, karena harta yang kita keluarkan untuk sedekah dan zakat memang bukan milik kita, tetapi rizki dari Allah untuk mereka.
Jadi, ketika Allah sangat menyukai sedekah dan mencintai orang yang senang berzakat dan bersedekah, itu karena orang yang bersedekah dan berzakat telah menunaikan kehendak Allah untuk menyalurkan rizki bagi mereka yang berhak, selain bahwa orang yang senang berzakat dan bersedekah ikut menebarkan rahmat Allah untuk mewarnai kehidupan manusia.
Mengakhiri tawshiyah ini, mari kita perhatikan pernyataan dari Allah dalam hadits qudsy yang lain:
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan si hamba selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, Aku menjadi matanya yang dengannya dia memandang, Aku menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, dan Aku menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan”. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah).
Mungkinkah tangan kita yang digerakkan oleh Allah untuk mengerjakan apa yang sudah diwajibkan oleh-Nya dan mengerjakan amalan-amalan sunnah yang membuat-Nya mencintai kita?
Sekali lagi, di antara amalan yang sangat dicintai oleh Allah adalah zakat dan sedekah.
Semoga Allah tetap memilih tangan kita, amin. Wallahu a’lam.
Amir Ma’ruf Husein
Taliwang, 28 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar