Meskipun selama 6 tahun menjadi santri saya dididik untuk menjadi guru, saya tak bercita-cita menjadi guru. Yang ada di benak saya adalah cita-cita menjadi pemimpin formal. Saya kemudian mendaftar menjadi calon mahasiswa Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Mataram. Sayang, saat itu ijazah yang saya miliki hanyalah ijazah madrasah dan APDN pada tahun 1983 belum bisa menerima ijazah madrasah. Saya kemudian menjadi mahasiswa Universitas 45 Mataram, Fakultas Sosial Politik, Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Aktifitas saya membina generasi muda di kampung menyeret saya ke lingkaran politik, tetapi saya merasakan bahwa jika saya memulai karir politik saya di daerah, apalagi di luar Jawa, maka saya akan menempuh perjalanan yang sangat panjang. Untuk memintas jalan, saya harus mulai membina karir di pusat kekuasaan, Jakarta. Namun, sebelum saya menuju ibukota negara, saya mesti mengunjungi kakak misan saya, Ustadz Zulkifli yang sudah merintis sebuah pondok pesantren di Taliwang Sumbawa pada tahun 1984. Saya mesti minta izinnya karena membantu Ustadz Zulkifli adalah pesan kyai saya.
Tahun 1985, saya ke Jakarta. Kepada paman yang sudah berdomisili di Jakarta, saya meminta bantuan untuk mengenalkan saya dengan teman-temannya yang berprofesi sebagai wartawan, juga kenalannya yang menjadi ustadz dan muballigh. Setengah bulan di Jakarta tidak memberikan progress berarti bagi saya dalam merengkuh cita-cita, hingga suatu saat, dengan sisa uang yang ada, saya masuk ke sebuah toko buku, mata saya tertarik oleh sebuah buku kecil dan tipis, “Misykat Cahaya-Cahaya”, terjemahan dari buku tulisan Imam Ghazali, Misykatul Anwar.
Selepas isya, saya membaca buku Misykat tersebut, sebuah uraian yang sangat indah dan mencerahkan tentang tafsir ‘ayat cahaya’ (Surat An-Nur ayat 35). Bacaan yang luar biasa, tak sadar saya mengulang-ulang membaca buku tersebut sambil bersimbah air mata. Jiwa dan fikiran saya seperti dikuak dengan lembut. Di saat puncak pencerahan itu, tiba-tiba tayangan Berita Terakhir TVRI pukul 23.00 memberitakan bahwa KH. Imam Zarkasyi, Pimpinan Pondok Modern Gontor wafat. Keterkejutan mendengar berita wafatnya sang Kyai dan kuakan tafsir Ayat Cahaya secara drastis mengguncang jiwa dan fikiran. Cita-cita awal menjadi politikus, menjadi pejabat, hidup di pusat kekuasaan tiba-tiba sirna tanpa bekas. Yang muncul hanya satu keinginan: Pulang kampung, membantu ustadz Zulkifli di pondok pesantren, mengabdikan diri menjadi ustadz.
Pertengahan 1985 saya memulai pengabdian sebagai ustadz di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Taliwang Sumbawa Barat NTB. Pondok pesantren yang berdiri pada 1 Februari 1984 tersebut baru memiliki 39 orang santri dan 5 orang ustadz. Pendidikan asrama 24 jam sudah pasti menguras tenaga dan pikiran. Membangunkan para santri pada pukul 04.00. mengajar di kelas, membimbing dan melatih kegiatan olah raga, kepramukaan, seni, latihan pidato, disiplin bahasa Arab dan Inggris, serta menemani santri belajar malam, wuuh… betul-betul melelahkan! Namun semangat pengabdian dengan penuh keikhlasan betul-betul menjadi suplemen ajaib yang bisa menghilangkan rasa letih dan penat, serta mengobati rasa jemu dan bosan.
Apalagi ketika para santri juga ikhlas dididik. Anehnya, ketika tiba masa liburan dan mereka mesti berlibur di rumah masing-masing, mereka menangis, hati mereka enggan untuk meninggalkan pondok, tapi apa boleh buat, Pondok pun butuh libur untuk mempersiapkan segala sesuatunya menghadapi tahun pelajaran baru. Di dekat pintu gerbang Pondok, para santri berpelukan sambil bertangis-tangisan.
Suasana akrab dan harmonis, hati tenang, tenteram dan bahagia, menguatkan dugaan bahwa Allah meridhai pilihan saya untuk mengabdi sebagai guru di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Taliwang. Perasaan itulah yang menguatkan hati dan jiwa saya untuk menyerahkan diri bagi pendidikan Islam.
Alhamdulillah, hingga sekarang saya tetap menjadi guru, dan dosen.. dan Insyaallah, seperti janji saya, saya tidak akan berhenti sebagai guru hingga ajal menjemput saya. Andaikan saya mati ketika saya sedang mengajar…. Amin.
Johor, 30 Maret 2011
Amir Ma’ruf Husein