Makna dan Kedudukan Ikhlas
Dari sisi bahasa, Ikhlas berarti memurnikan, menghilangkan noda. Pengertian ikhlas adalah memurnikan hati dalam beramal dari berbagai pamrih selain lillahi ta’ala. Yang dimaksud dengan pamrih adalah semua tujuan dan keinginan hati selain ridla dari Allah.
Kedudukan ikhlas sangat tinggi. Dalah hal ini Allah SWT berfirman, “dan mereka tidak diperintahkan selain beribadah kepada Allah dengan ikhlas...” (QS. 98: 6), Rasulullah bersabda bahwa ruhnya amal adalah ikhlas.
Pengertian Lillahi Ta’ala
Dari aspek bahasa, ungkapan Lillahi terdiri dari dua kata: Li dan Allah. Li dalam bahasa Arab adalah harfu jar yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata sambung. Kata sambung Li memiliki beberapa arti: milik, untuk, karena, demi, dan lain-lain yang semaksud. Dalam kaitannya dengan Lillahi dan amal perbuatan, maka pengertian kata sambung Li dipahami dengan melihat fakta bahwa suatu pekerjaan – apa pun jenis pekerjaan itu – selalu melalui sebuah garis. Bermula dari starting point (titik awal), berakhir di ending point (titik penghabisan), melalui rangkaian titik-titik yang membentuk garis tersebut.
Titik awalnya adalah motivasi atau drive yang menggerakkan manusia untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai titik akhir berupa tujuan atau goal, setelah melalui titik-titik proses. Lillahi ta’ala mesti berada dalam setiap titik. Dalam lingkup pemahaman tersebut maka pemaknaan “li” menjadi: karena, milik, dan untuk. Lillahi di titik awal berarti: karena Allah. Maksudnya adalah pekerjaan dilakukan karena dikehendaki oleh Allah, karena disukai oleh Allah, karena diperintahkan oleh Allah, baik langsung ataupun tidak langsung. Lillahi di titik akhir berarti: untuk Allah. Maksudnya adalah tujuan dari pekerjaan adalah untuk mencari ridla Allah, mendapatkan cinta Allah.
Selanjutnya, Lillahi di titik-titik proses berarti: milik Allah. Maksudnya adalah pekerjaan dilakukan dengan menggunakan segala potensi yang dititipkan oleh Allah, mengikuti pedoman dan tatacara yang digariskan oleh Allah, baiklangsung ataupun tidak langsung. Dua titik ujung (awal dan akhir) terangkum dalam niat, sedangkan titik-titik proses terangkum dalam cara. Niat dan Cara adalah dua hal yang patut diperhatikan dalam setiap kali melakukan pekerjaan. Keduanya harus benar, yaitu lillahi ta’ala.
Mengapa Harus Ikhlas?
Pada prinsipnya, manusia diciptakan sebagai khalifah di atas muka bumi dan bertujuan untuk beribadah kepada Sang Pencipta, Allah. Dua dimensi fungsi dan tugas inilah yang mesti mewarnai kehidupan manusia. Apa pun yang dikerjakan oleh manusia semestinya dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugas tersebut. Sebagai contoh, seorang guru yang mendidik. Niatnya haruslah lillahi ta’ala dalam arti dia mendidik karena pekerjaan mendidik merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia yang memang diperintahkan oleh Allah, sangat disukai oleh Allah, sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Dalam hal ini suasana jiwa sang guru dipenuhi oleh ketaatan dan pengabdian kepada Allah, kepatuhan dan teladan kepada Rasulullah, dan kesadaran fungsi sebagai khalifah. Kesadaran itu berlanjut kepada tujuan hanya untuk mendapatkan ridha, cinta, dan rahmat dari Allah.
Kita bayangkan, seseorang yang mencintai orang lain dengan cinta yang tulus. Ketika dia hendak melakukan sesuatu bagi orang yang dicintainya, karena harapan dan permintaan dari kekasihnya, dia akan berfikir, bertekad, dan berusaha maksimal untuk melakukannya dengan sebaik yang bisa dilakukan, bahkan dia berharap dapat melakukan lebih baik, dengan harapan dapat memuaskan kekasihnya, dengan tujuan agar cinta sang kekasih kepadanya semakin bertambah. Kita bayangkan lagi, seorang staf yang mendapat tugas dari atasannya yang sangat dikagumi dan dihormati. Dalam kesadaran tentang posisinya dan kepentingan tugasnya, staf tersebut akan berusaha mengerjakan tugasnya sebaik mungkin dengan tujuan tercapainya misi organisasi, kepuasan atasannya, dan dengan demikian, atasannya akan melihatnya sebagai staf yang berprestasi.
Bagaimana kemudian dengan Allah, Tuhan yang menciptakan kita, yang memberi kita kehidupan, memberi kita rizki, yang melindungi kita, yang mencintai kita tanpa batas, Tuhan Pemilik alam semesta, Tuhan Sang Raja di akherat nanti, dan yang memiliki sorga? Tidakkah sang guru akan melakukan pekerjaannya secara maksimal, lebih dari kualitas kerja antara dua kekasih, lebih dari kualitas kerja staf untuk atasannya?
Di sini tampak pengaruh kesadaran untuk ikhlas terhadap kualitas pekerjaan. Sekarang kita tilik peran ikhlas pada titik-titik proses. Andaikan kita meminjam sepeda motor kawan kita, kawan tersebut mengatakan, “silakan, tapi tolong jangan ngebut, maksimal 70 saja ya...” Kita pasti akan memperhatikan pesan kawan kita pemilik motor tersebut, kita akan berhati-hati menggunakan motor tersebut dan membatasi laju tidak lebih dari 70 km/jam. Kita bisa mencari banyak contoh lain yang maksudnya adalah bahwa apabila kita menggunakan barang yang kita pinjam dari seseorang kita akan memperhatikan dan mematuhi aturan dan petunjuk yang diberikan oleh pemilik barang tersebut.
Kesadaran bahwa tubuh kita, jiwa kita, ilmu kita, potensi kita, kekayaan kita, pada hakekatnya adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita akan menegur kita untuk menggunakan dan memanfaatkannya dalam melakukan fungsi dan tugas kehidupan kita sesuai dengan petunjuk dan arahan Sang Maha Pemilik, Allah. Bagaimana kira-kira dampak yang timbul ketika sang guru sadar bahwa pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya untuk mendidik anak-anak didiknya adalah titipan dari Allah, sadar bahwa dirinya hanyalah medium proses Allah mengajar dan mendidik hamba-Nya, sadar bahwa dirinya dipilih oleh Yang Maha Berilmu untuk menyebarkan rahmat ilmu pengetahuan dan pendidikan-Nya? Bagaimana pula jika kemudian Allah Yang Menguasai hati manusia memberikan ridla-Nya? Kemudian membuka hati, melapangkan pikiran, memudahkan proses? Tak terbayangkan betapa indah hasil pekerjaan sang guru!
Gaji, Honor, Upah, Intensif
Apakah berbagai bentuk imbalan atas suatu pekerjaan merusak nilai keikhlasan? Tidak bolehkah kita menghitung berapa imbalan yang kita terima dari suatu pekerjaan yang kita kerjakan? Ataukah ikhlas itu identik dengan kesukarelaan tanpa imbalan apa pun? Dalam hal ini perhatikan firman Allah (QS. 42: 20): “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. Perhatikan juga firman-Nya (QS. 2: 200-201): “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".”
Ayat-ayat di atas menjelaskan ultimatum dari Allah bahwa siapa saja yang mengharapkan balasan amalnya di dunia, maka dia hanya akan mendapatkan balasan di dunia dan di akherat dia tidak mendapatkan apa-apa, sedangkan yang mengharapkan balasan akherat, maka dia akan mendapat balasan akherat ditambah balasan dunia juga. Ibarat orang yang menanam padi pasti akan tumbuh rumput di sela-sela padi, sedangkan orang yang menanam rumput tidak akan menemukan padi di sela-sela rumput. Padi adalah tamsil untuk balasan akherat dan rumput adalah tamsil untuk balasan dunia.
Dalam menjelaskan tentang ikhlas dan imbalan dunia, para ulama mengatakan bahwa selama tujuan amal perbuatan – selain ibadah ritual – yang pertama dan utama adalah mencari ridla Allah, maka tujuan untuk mendapat keuntungan dunia tidak merusak nilai amalnya, selama tujuan akheratnya tidak rusak oleh tujuan dunianya, apalagi jika amal perbuatan tersebut berupa aktifitas kehidupan duniawi. Seorang pedagang, mesti meniatkan usahanya untuk mencari ridha Allah, mengikuti cara-cara yang diridlai-Nya, bersamaan dengan itu dia boleh berharap profit yang patut. Seorang pengrajin, dia mesti meniatkan kerjanya untuk mencari ridha Allah dan mengikuti cara-cara yang diridhai-Nya, bersamaan dengan itu dia boleh berharap agar hasil karyanya dihargai sangat tinggi. Seorang mahasiswa, dia mesti meniatkan belajarnya untuk mencari ridha Allah sambil mengikuti cara-cara yang diridhai-Nya, bersamaan dengan itu dia boleh berharap mendapatkan prestasi yang baik, mendapatkan hadiah dan dampak-dampak positif lain dari prestasinya. Seorang guru, mesti berniat iklhas lillahi ta’ala mencari ridha Allah saat menunaikan tugas mendidik, membina dan mengajar anak-anak didiknya, mengikuti cara-cara baik yang diridhai-Nya, dan selanjutnya sang guru boleh mengharapkan apresiasi dari jerih payahnya, penghargaan atas profesionalitasnya, kebahagiaan hati dan kepuasan batin dari hasil kerjanya.
Simpulan
Kupasan tentang IKHLAS pada tulisan di atas sangat ringkas, namun diharapkan sudah bisa memberikan gambaran tentang makna dan pentingnya ikhlas bagi kita dalam mencapai kesuksesan melaksanakan pekerjaan kita. Masih banyak ruang untuk perluasan dan pendalaman pemahaman kita tentang ikhlas. Semoga bisa didiskusikan lebih jauh bersama teman-teman guru.
Dari kupasan di atas bisa kita simpulkan: (1) Ikhlas adalah memurnikan hati dalam mengerjakan suatu pekerjaan lillahi ta’ala, yaitu dalam niat dan cara mengerjakan pekerjaan tersebut, (2) Ikhlas merupakan faktor penting bagi keberhasilan pekerjaan kita, dan (3) Selama keuntungan dunia tidak merusak niat lillahi ta’ala dan cara-cara yang diridhai-Nya, maka keuntungan dunia itu boleh disisipkan sebagai tujuan dari pekerjaan kita.
Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekhilafan. Semoga bermanfaat! Amin!
Taliwang, 13 Februari 2011
Amir Ma'ruf
0 komentar:
Posting Komentar