Review Klinis terhadap Standarisasi Harga Satuan Barang & Jasa

I N D I K A S I 
Dua kelompok masyarakat berdiri berhadapan dengan muka kesal dan diwarnai kemarahan. Mereka sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah daerah, namun di tengah dialog mereka dengan pemerintah daerah, justru kedua kelompok itulah yang akhirnya saling berhadapan. Pemerintah daerah pun terdiam di tengah-tengah mereka.

Kelompok pertama adalah para pemuda yang hendak menuntut pemerintah agar menegur keras para pelaksana proyek-proyek pembangunan infrastruktur karena ditengarai terjadi pengurangan mutu pekerjaan yang cukup signifikan, sehingga dikhawatirkan infrastruktur yang sedang dibangun tersebut akan segera rusak dan – yang lebih mereka khawatirkan – menyengsarakan masyarakat.
Kelompok kedua adalah para kontraktor pelaksana proyek pembangunan infrastruktur yang menuntut pemerintah agar memberikan dana tambahan mengingat kenaikan harga BBM yang berbuntut kepada kenaikan harga material dan jasa yang signifikan, sehingga ancaman kerugian menghantui sebagian besar kontraktor pelaksana proyek tersebut.
Tidak jauh dari lokasi unjuk rasa tersebut, sekelompok kontraktor pelaksana proyek pengadaan barang berbasis teknologi informasi (TI) bersama para anggota panitia pengadaan sedang bersenda-gurau sambil berpesta makanan di sebuah restoran besar. Mereka meraup untung sangat besar, karena berhasil menyelesaikan pekerjaan beberapa saat sebelum terjadi krisis ekonomi global yang melonjakkan nilai tukar rupiah terhadap dolar, sementara saat itu harga barang berbasis TI ternyata jauh lebih murah dibanding harga yang tertera di dalam penawaran proyek.

D I A G N O S A 

 Dua fenomena kontras tersebut di atas berawal dari penetapan standar harga satuan barang dan jasa (HSBJ) yang tidak tepat. Fenomena yang satu menggambarkan standar yang terlalu rendah dan mengakibatkan kegagalan efektivitas, sedangkan yang kedua menggambarkan standar yang terlalu tinggi dan mengakibatkan kegagalan efisiensi.
Standar yang terlalu rendah memang jarang terjadi, karena biasanya para penyusun HSBJ menjadikan harga pasar faktual menjadi standar penyusunan harga yang biasanya disertai pula dengan pertimbangan tingkat inflasi, fluktuasi nilai tukar mata uang, dan kondisi ekonomi makro yang lain. Sementara trend harga barang cenderung turun seiring dengan perjalanan waktu, sementara trend harga jasa cenderung meningkat. Namun demikian, langkah antisipasi terhadap perubahan ekstrim jarang direncanakan.
Di pihak lain, standar yang terlalu tinggi sangat sering terjadi, khususnya pada jenis barang berbasis teknologi informasi (TI) yang menurut Hukum Moore, “TI akan mengalami laju perkembangan teknologi secara simetris dengan laju penurunan harga barang TI setiap 6 bulan sekali.” Mengutip tulisan Nugroho (2008), seorang auditor pada perwakilan BPK Provinsi DKI Jakarta, terdapat beberapa insiden yang umum terjadi di antaranya:

1. Mark Up
Penetapan harga produk TI didasarkan pada standar harga yang berbeda-beda sumbernya, yang paling umum didapatkan dari hasil surfing ke website toko peralatan TI secara online, daftar harga yang termuat pada majalah atau tabloid perlatan TI, atau daftar harga dari toko-toko peralatan TI. Harga yang diambil adalah harga yang berlaku ketika HSBJ akan disusun tanpa memperhitungkan penurunan harga sesuai hukum Moore. Harga itu pun kemudian dinaikkan lagi beberapa persen dengan berbagai dalih.
Akhirnya harga yang ditetapkan di dalam HSBJ mencapai 200-300% dari harga faktual saat proyek pengadaan barang TI tersebut dilaksanakan, walaupun proses tender sudah memotong nilai proyek hampir 40% dari pagu awal yang direncanakan.

2. High-End Fever
Korban iklan, adalah penyakit yang sering melanda para penyusun HSBJ di bidang TI. Hal ini terjadi ketika survey harga pasar dilakukan, maka yang diperhatikan adalah produk TI yang paling mutakhir dengan spesifikasi yang paling tinggi tanpa memahami dengan persis fungsi dan kegunaan dari setiap komponen yang terpasang pada produk high-end tersebut.
Tingginya spesifikasi komponen tentunya menuntut harga yang lebih tinggi dengan selisih yang cukup jauh dibandingkan harga komponen dengan spesifikasi setingkat di bawahnya.
3. ArogansiJika bukan karena kegagapan teknologi, maka penyakit yang lebih parah yang menimpa para penyusun HSBJ adalah penyakit arogansi, yaitu ketika mereka memiliki pemahaman tentang fungsi dan kegunaan komponen TI namun mereka tetap ngeyel untuk menggunakan komponen dengan spesifikasi tertinggi, walaupun mereka tahu bahwa sebenarnya kebutuhan riil adalah kepada komponen dengan spesifikasi sedang.
Intel® CoreTM 2 Duo 3 GHz, 2 GB DDR2, 180 GB SATA HDD, IEEE 1394 suport, Windows Vista Ultimate, Microsoft Office Enterprise 2007, dan seterusnya adalah spesifikasi yang dipasang untuk komputer atau laptop yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan administrasi kantor dan hanya membutuhkan spesifikasi beberapa tingkat di bawah spesifikasi yang distandarkan yang sebenarnya cocok untuk mereka yang memainkan game 3 dimensi ataupun para video editor yang memang membutuhkan resources sangat besar.

4. Pemborosan
Selain pemborosan pada pengadaan komponen utama – baik hardware ataupun software – yang diakibatkan oleh arogansi, pemborosan juga terjadi pada pengadaan komponen hardware dan software yang tidak dibutuhkan, seperti pembelian speaker, kamera web, mouse nirkabel, semuanya dengan spesifikasi tinggi; juga instalasi aplikasi grafis seperti CorelDraw X4 suit, Macromedia Graphics suit, Adobe Graphics Suit, aplikasi editing video, dan seterusnya. Semuanya tentu dibayar dengan harga yang sangat tinggi.


5. License Trap
Software yang terinstalasi seharusnya adalah software yang absah karena didapatkan melalui pembelian legal. Software yang legal selalu disertai dengan lisensi berupa seperangkat kode yang terdiri dari kombinasi karakter (abjad dan angka). Ketidakpahaman terhadapt masalah lisensi atau legalitas suatu software sering kali dimanfaatkan oleh para penjual peralatan TI untuk mencipkatan ketergantungan user yang berakibat kepada pengeluaran biaya.

6. Software Hijack
Software yang legal memang mahal, sehingga para penjual yang ‘nakal’ sering kali menginstalasi software hasil bajakan yang berharga sangat murah, atau bahkan didapatkan secara gratis.

Uraian tentang insiden pada proyek TI adalah sebuah representasi dari kasus inefisiensi proyek yang berangkat dari ketidaktepatan penetapan HSBJ. Representasi tersebut untuk memberi gambaran yang lebih gamblang bahwa seharusnya pemerintah daerah dapat menghemat dana yang sangat besar jika perencanaan dan penetapan HSBJ pada barang-barang TI dilakukan dengan tepat. Demikian pula jika langkah yang sama dilakukan pada bidang lainnya.

T E R A P I
 
Kebijakan otonomi daerah yang berlanjut pada desentralisasi fiskal menuntut pemerintah daerah agar dapat mengelola keuangan daerahnya dengan cara cerdas. Dalam hal ini, efektivitas program dan efisiensi penganggaran menjadi dua kata kunci yang teramat penting. Salah satu jalan pintas (shortcut) untuk dapat segera meraih efektivitas dan efisiensi tersebut adalah dengan membuat penetapan tentang Standar HSBJ yang dijadikan dasar penyusunan program kegiatan dan penganggaran.
Semestinya untuk menyusun langkah-langkah strategis penyusunan standar HSBJ perlu dilakukan kajian mendalam dengan menggunakan berbagai alat analisis, sehingga langkah-langkah yang diambil menjadi tepat sesuai dengan prioritas kebutuhan dan kemampuan sunberdaya yang ada. Dalam makalah ini tawaran strategi diajukan secara dangkal untuk dapat menjadi masukan awal.

1. Standar HSBJ Dinamis Realistik
Standar HSBJ sebaiknya ditetapkan secara dinamis dalam arti bahwa masa berlakunya dibatasi dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan revisi dan penyesuaian sesuai harga faktual. Bila mengikuti Hukum Moore tentang TI, maka disarankan agar masa berlaku suatu ketetapan standar HSBJ paling lama selama 1 semester (6 bulan).

2. Standar Kinerja dan Standar Pelayanan Minimal
Standar kinerja dan standar pelayanan minimal dijadikan dasar dalam menentukan spesifikasi barang dan jasa yang diperlukan sehingga tidak terjadi pemborosan dengan belanja barang dan jasa yang tidak dibutuhkan. Dengan cara demikian, maka jika terjadi kejadian mendadak yang tidak diduga sebelumnya dan mengakibatkan masalah pada efektivitas dan efisiensi, maka akibat yang dialami tidak separah bila penganggarannya dilakukan tanpa ukuran yang jelas.

3. Tim Pemantau Ekonomi Makro
Agar penetapan Standar HSBJ menjadi realistik dan antisipatif dalam menghadapi berbagai perubahan di masa yang akan datang, khususnya fluktuasi harga, diperlukan adanya suatu tim yang bertugas melakukan pemantauan terhadap kondisi ekonomi makro dari waktu ke waktu.

4. Kerjasama dengan Lembaga Spesialis
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga yang kegiatannya mengambil spesialisasi pada pengukuran dan standarisasi. Lembaga seperti itu bisa dipertimbangkan untuk dijadikan mitra dalam menentukan standar HSBJ, karena selain profesional, juga dapat lebih dihindari masuknya unsur kepentingan pribadi dan kelompok.

5. Uji Publik Draft Standar HSBJ
Agar terhindar dari tuduhan negatif dalam penetapan standar HSBJ, draft yang sudah tersusun dapat dipublikasikan melalui media massa untuk mendapatkan tanggapan dari publik. Tanggapan publik memang tidak harus diterapkan, tetapi dapat menjadi dasar pertimbangan penting dalam penyusunan, revisi, ataupun penetapan HSBJ.

6. Tim Penaksir Kebutuhan Barang dan Jasa
Agar penetapan Standar HSBJ menjadi realistik sesuai kebutuhan program dan kegiatan berdasarkan standar kinerja dan standar pelayanan maksimal, perlu dibentuk suatu tim yang bertugas untuk melakukan taksiran terhadap kebutuhan barang dan jasa dengan spesifikasi yang sesuai dengan program dan kegiatan.

7. Belanja Secara Partai Besar
Tradisi pasar dimana pembelian dalam partai besar akan mendapatkan harga yang lebih murah, rabat dan discount dalam prosentase yang cukup besar semestinya dijadikan pertimbangan dalam perencanaan dan penganggaran.

Langkah strategis 6 dan 7 sesungguhnya lebih tepat jika dimasukkan dalam seperangkat langkah strategis dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua langkah tersebut dicantumkan untuk memberi gambaran utuh tentang strategi yang ditawarkan di dalam perencanaan dan penetapan standar HSBJ dalam rangka meraih tujuan efektivitas dan efisiensi.

A D V I S
 Sesungguhnya kata kunci utama dalam keberhasilan mencapai efektivitas dan efisiensi dalam penyusunan standar HSBJ terletak pada komitmen semua pihak yang berwenang. Jika mereka memiliki komitmen yang tinggi dengan membuang jauh-jauh pikiran untuk memperbesar peluang kepentingan pribadi dan kelompok, serta konsisten dalam menegakkan komitmennya, maka langkah strategis yang dibutuhkan akan menjadi sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Bahkan mungkin tidak membutuhkan biaya yang tinggi.
Dengan demikian, langkah utama yang paling strategis adalah membangun komitmen dalam diri semua pihak yang berwenang tersebut. Untuk itu, perlu dipikirkan segera langkah pembangunan mental dan spiritual para pihak yang berwenang, dan untuk itu, kesadaran dan pengamalan agama menjadi niscaya.

Sekian.

REFERENSI
Andrianto, Nico, SE. Ak., 2007, Laptop Tukul Arwana dan Pembelanjaan Uang Daerah, http://www.blogger.com/.
Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan RI, 2007, Standar Biaya: “Satu Ukuran untuk Semua”, http://www.anggaran.depkeu.go.id/.
Nugraha, Dwihansyah Agus, 2008, Tahu Sama Tahu dalam Pengadaan Perangkat Komputer di Perkantoran, http://criskuntadi.blogspot.com/.