Belajar adalah Fitrah Manusia

Fitrah 

Pemahaman umum tentang makna Fitrah adalah kesucian, bahkan seringkali diterjemahkan dalam konsep tabularasa (John Lock) bahwa manusia terlahir bagaikan selembar kertas putih bersih yang siap digores dengan berbagai macam tulisan dan warna. Pemahaman tersebut merupakan pemahaman yang dangkal terhadap ungkapan Idul Fitri (kembali ke fitrah) dan hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap bayi terlahir dalam fitrah.

Jika merujuk ke Al-Qur’an, dari akar kata fa’, tha’, dan ra’ ( ف، ط، ر ) terbentuk 8 buah kata bentukan yang disebut dalam 16 ayat. Keseluruhan ayat tersebut mengandung arti penciptaan yang dikaitkan dengan penciptaan langit dan bumi, kecuali 1 ayat yang menggunakan kata bentukan fitrah ( فِطْرَة ) yang dikaitkan dengan penciptaan manusia, yakni pada surat Ar-Rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفاً، فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهاَ، لاَ تَبْدِيْلَ ِلخَلْقِ الله
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
 
Ayat inilah satu-satunya yang menyebut fitrah dalam penciptaan manusia dan menjadi rujukan utama bahasan fitrah manusia oleh para ulama’ dan cendikiawan dalam kajian psikologi, pendidikan, dan sebagainya. Ayat tersebut kemudian dikuatkan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhary, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
Setiap bayi terlahir dalam fitrah
 
Muara dari kajian terhadap ayat-ayat tentang fitrah tersebut di atas adalah bahwa fitrah sepatutnya dipahami sebagai rencana atau rancangan atau design awal penciptaan yang sempurna dan paripurna yang telah ditanamkan oleh Sang Pencipta ke dalam ciptaan-Nya, termasuk di dalamnya penciptaan manusia.
 
Penciptaan Manusia
 
Secara biologis, manusia tak banyak berbeda dari binatang, tercipta dari bahan dan proses yang sama. Tetapi ada satu ungkapan yang kemudian membedakan manusia dari binatang, yaitu bahwa manusia adalah binatang yang berakal.
 
Bila sebutir telur ayam telah dierami selama 21 hari, maka pada detik tertentu, akan ada ketukan halus dari dalam telur yang memecah kulit telur dan menetaslah telur tersebut. Seekor anak ayam terlahir. Detik-detik pertama anak ayam tersebut tergeletak lemas setelah berhasil keluar dari kulit telur, nafasnya perlahan-lahan semakin teratur, dan dalam hitungan puluhan detik kemudian, anak ayam itu berdiri, berjalan-jalan di sekitar telurnya, mulutnya berciap-ciap, matanya sudah melihat kesana-kemari, paruhnya mematuk-matuk alas di sekitarnya. Dalam hitungan menit, anak ayam itu sudah menjadi seekor ayam dengan seluruh kemampuan yang dimiliki oleh seekor ayam dewasa. Barangkali yang lebih mengagumkan adalah anak itik dalam hitungan menit sudah pandai berenang, anak burung dalam hitungan hari (menunggu kekuatan otot alat terbangnya) sudah bisa terbang, dan begitulah selanjutnya yang terjadi pada semua anak binatang yang sudah memiliki semua kemampuan induknya dalam waktu yang sangat singkat. Mereka memilikinya secara instan.
 
Dibandingkan dengan anak-anak binatang, maka anak manusia membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk memiliki semua kemampuan orang tuanya. Di sinilah letak perbedaan antara penciptaan manusia secara biologis. Sang Pencipta telah memberikan semua kemampuan hidup kepada binatang sejak awal kejadiannya tetapi tidak memberinya akal, sedangkan kepada manusia Sang Pencipta memberinya akal dan tidak memberinya semua kemampuan hidup. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam ayat yang pertama kali diturunkannya kepada Rasulullah saw. (QS. Al-‘Alaq: 1 – 5) sebagai berikut:

  اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ ، خَلَقَ اْلإِنْساَنَ مِنْ عَلَقٍ ، اِقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ ، 
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ، عَلَّمَ اْلإِنْساَنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ 
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Mencipta, Mencipta manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia, Yang mengajar dengan pena mengajar manusia apa-apa yang belum diketahuinya.
 
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan bekal kemampuan belajar, mempelajari apa-apa yang belum diketahuinya, baik pengetahuan afektif, kognetif, ataupun psikomotorik. Untuk keperluan belajar itulah Allah membekali manusia dengan akal. Inilah salah satu bagian dari fitrah manusia yang bertolak belakang dengan fitrah binatang.

Manusia Semestinya Belajar
 
Menurut fitrahnya manusia semestinya belajar – seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. – dari buaian hingga ajal menjemput. Karunia akal bukanlah sesuatu yang gratis dan sebagai hiasan pelengkap saja. Untuk mendukung fungsi akal, Allah memberi manusia panca indera. Manusia diingatkan untuk senantiasa menggunakan indera dan akalnya dengan benar secara terus-menerus. Manusia mesti pandai-pandai melihat dan mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, pandai-pandai mendengar dan mengambil pelajaran dari apa yang didengarnya, begitulah seterusnya… Manusia juga mesti terus menggunakan akalnya untuk berfikir dan memikirkan apa-apa yang sudah ditangkap oleh inderanya.
 
Di dalam Al-Qur’an banyak bertaburan ayat-ayat yang merangsang manusia untuk belajar, memprovokasi manusia untuk melakukan perjalanan, pengembaraan, penglihatan, baik secara fisik ataupun fikiran, untuk bisa menangkap tanda-tanda kekuasaan Sang Pencipta, untuk mengambil pelajaran dari isyarat-isyarat yang terkandung dalam peristiwa sejarah dan kehebatan kejadian alam, untuk menguak ilmu yang terpendam di dalam ketidaktahuan manusia. Allah kemudian mengapresiasi siapa saja yang bersedia menggunakan akal fikiran, mata dan telinganya untuk belajar dan mencari ilmu. Di dalam hadits Nabi banyak bertaburan sabda yang menguatkan apresiasi Sang Pencipta bagi para penuntut ilmu, para pembelajar, orang-orang yang mensyukuri karunia akal dengan menggunakannya untuk belajar.
 
Allah mengecam manusia yang tidak memanfaatkan dan memfungsikan indera dan akalnya dengan firman-Nya (QS. Al-A’raf ayat 179) sebagai berikut:

لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ آذاَنٌ لاَ يَسْمَعُوْنَ بِهاَ،
أُلَئِكَ كَاْلأَنْعاَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
Mereka memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat, mereka memiliki telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat.

Belajar sepanjang hayat, itulah fitrah manusia sejati. Orang yang sudah berhenti belajar, tidak mau belajar lagi, dan tidak mau mengambil pelajaran, barangkali sudah mulai kehilangan kemanusiaannya.

Wallahu a'lam.
Pasir Gudang, 1 April 2011
Amir Ma'ruf

0 komentar:

Posting Komentar