Beramal Jariyah dengan Mengajar


Amal Jariyah (bahasa Arab) secara leterlek berarti amal yang mengalir. Ungkapan tersebut bermula dari hadits Nabi yang sangat masyhur tentang terputusnya (hasil) amal perbuatan manusia ketika ajalnya tiba, “Bila anak Adam mati terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga (perkara): shodaqoh jariyah (sedekah yang berlanjut), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Tafsir dari hadits di atas adalah bahwa orang yang sudah mati tentu tak akan mendapat pahala shalat lagi, tak mendapat pahala puasa lagi, tak mendapat pahala haji lagi, dan begitu selanjutnya karena dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Akan tetapi jika selama dia hidup dia pernah berbuat sesuatu yang dampak kebaikannya terus berlanjut, maka orang tersebut akan terus mendapat pahala seiring dengan keberlanjutan kebaikan yang dihasilkan dari perbuatannya. Dalam hal ini Rasulullah saw. menyebutkan tiga perkara: sedekah yang kebaikannya terus berlanjut, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendoakannya.

Seseorang mungkin mengeluarkan uang sebesar Rp 50.000,- dan memberikannya kepada seorang pengemis. Orang tersebut mendapat pahala dari sedekahnya. Untuk apakah uang Rp 50.000,- itu akan dipergunakan oleh si pengemis? Dalam hal ini kita bukan sedang membahas tentang keikhlasan, tetapi tentang pemahaman jariyah (yang terus mengalir) dari suatu sedekah.

Jika uang itu dipergunakan untuk membeli makanan sehari-hari, maka mungkin uang tersebut bisa bertahan sampai 5 hari. Dalam hal ini sedekah uang Rp 50.000,- tersebut akan menghasilkan pahala setiap kali si pengemis itu makan selama 5 hari. Jika uang itu dibelikan sarung yang mungkin bisa bertahan selama 1 tahun, maka sedekah Rp 50.000,- itu akan menghasilkan pahala setiap kali sarung itu dipergunakan untuk ibadah selama setahun. Begitulah seterusnya.

Seseorang uang memiliki harta berlimpah dan mengeluarkan sekian ratus juta untuk membangun sebuah masjid, maka dia akan mendapat pahala sebanyak orang yang menggunakan masjid tersebut untuk beribadah selama masjid tersebut eksis dan tetap digunakan untuk beribadah.

Seseorang yang hanya punya dana secukupnya kemudian membeli sebuah mesin pompa air untuk sebuah masjid, yang dengan mesin pompa air tersebut dapat mengalirkan air untuk kepentingan bersuci di masjid tersebut, maka pahalanya akan terus didapatkan sebanyak orang yang bersuci di masjid itu selama air yang dipergunakan didapatkan dari hasil pompaan mesin air tersebut.

Seseorang yang membeli beberapa eksemplar buku kemudian menyumbangkannya untuk dibaca oleh siapa saja, maka pahalanya akan terus didapatkan selama buku itu dibaca dan dimanfaatkan oleh orang yang membacanya.

Orang yang punya tenaga kemudian menggali sebuah sumur untuk umum, maka pahalanya akan terus didapatkan setiap kali orang dapat memanfaatkan air dari sumur tersebut, tentunya selama sumur itu masih dipakai dan ada airnya.

Orang yang menanam pohon akan mendapat pahala selama orang lain dapat mengambil manfaat dari pohon tersebut, berteduh di bawah dedaunannya yang rimbun, atau menikmati buahnya, dan sebagainya.

Pahala dari berbagai bentuk kebaikan tersebut akan terus diterima oleh orang yang bersedekah selama apa yang disedekahkannya memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain, apaklah orang yang bersedekah tersebut masih hidup ataupun sudah mati. Jika kebaikan dari sedekahnya sudah terhenti, maka berhenti pulalah pahala yang diterima, baik orang yang bersedekah itu masih hidup atau sudah mati.

Semua bentuk kebajikan seperti contoh di atas atau bentuk-bentuk yang lain bisa dinamakan sedekah, seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah bahwa senyuman untuk sahabat dan saudara adalah sedekah, zikir yang diucapkan dan dilafalkan setiap waktu juga sedekah, mengajak orang lain kepada kebaikan juga sedekah, mencegah orang lain dari maksiat juga sedekah, dan lain sebagainya. Penggunaan istilah amal jariyah hanyalah sekedar untuk memberikan perbedaan pemahaman tentang sedekah yang dikaitkan dengan pemberian sesuatu yang berbentuk materi kepada orang lain.

Setiap orang bisa beramal jariyah dengan menggunakan apa saja yang dimiliki. Orang yang berharta bisa beramal jariyah dengan hartanya, yang memiliki tenaga beramal dengan tenaganya, yang berilmu beramal jariyah dengan ilmunya, yang memiliki pengaruh sosial bisa beramal jariyah dengan menggunakan pengaruhnya, yang memiliki kekuasaan bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk beramal jariyah. Apa saja yang kita miliki bisa kita manfaatkan untuk beramal jariyah.

Orang tua, ketika mendapatkan anugerah keturunan, sesungguhnya mendapatkan peluang untuk beramal jariyah dengan kalkulasi yang berlipat ganda. Jika anaknya berhasil dididik menjadi seorang anak yang sholeh, tekun beribadah dan ikhlas beramal, orang tuanya akan mendapatkan pahala yang luar biasa besarnya, pahala mendidik anaknya ditambah dengan pahala kebajikan yang dikerjakan oleh sang anak, karena bagaimanapun, kebajikan sang anak adalah buah dari pendidikan yang dirancang dan diupayakan oleh orang tua.

Bagaimana dengan guru?

Peranan seorang guru dalam pendidikan anak didik berawal dari penyerahan orang tua ke guru (dan lembaga pendidikan). Dalam koridor upaya pendidikan orang tua bagi anaknya, orang tua – saat menyerahkan anaknya ke guru – mengharapkan agar anaknya dididik, dibina, diajar, diberi bekal pengetahuan agar kelak menjadi orang yang berguna dan bermanfaat. Kepercayaan orang tua kepada guru berawal dari pengetahuan mereka bahwa guru memiliki kompetensi pendidikan dan keilmuan yang memadai.

Guru kemudian memiliki andil yang signifikan dalam mendidik seorang anak. Membentuk karakternya, membina bakat dan kemampuannya, membekalinya dengan ilmu yang bermanfaat, menyirami anak didik dengan kasih sayang dan harapan.

Wow! Ternyata apa yang selama ini dikerjakan oleh seorang guru telah mencakup ketiga perkara yang disabdakan oleh Rasulullah: sedekah berupa ilmu dan pendidikan, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan menyiapkan anak didik menjadi manusia yang shaleh.

Andaikan seorang guru telah mendidik 10 orang saja, seorang di antara mereka kemudian menjadi guru dan mendidik 10 orang anak didik lagi, dan begitu seterusnya... Kalkulasinya menjadi deret matematika yang rumit, belum lagi anak didik yang lain yang kemudian memilih profesi lain dan – karena keshalehan sebagai buah dari pendidikan – beramal jariyah di bidang dan cara masing-masing... Bagaimana pula jika semua anak didik dan cucu didik itu memanjatkan doa untuk guru?

Berbahagialah para guru yang ikhlas, shaleh, kompeten, dan profesional. Kilasan kalkulasi di atas tak usahlah terlalu difikirkan meskipun sebenarnya tidak salah secara syar’i karena salah satu makna imanan wa ihtisaban adalah berdasarkan iman dan perhitungan kepada Allah. Biarlah kalkulasi itu dilakukan oleh para malaikat pencatat amal, atau mungkin dikalkulasi langsung oleh Allah Sang Maha Penghitung.

Biarlah predikat ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ terus dikumandangkan dalam nyanyian dan puisi, tetapi tekad dan niat kita sudah bulat dan kuat. Beramal jariyah dengan mengajar secara ikhlas dan profesional.

Bismillah...


Pasir Gudang, 2 Mei 2011
Amir Ma’ruf Husein