Bangkitlah Segera, Jika Mau Bangkit!

(Catatan menjelang Hari Kebangkitan Nasional)
 
Bangkitlah, hai Garuda! Buka matamu!
Lihatlah betapa kejayaan yang pernah kau raih
tercuil keping demi keping, dipatuk elang dan burung lain
yang tersisa hanyalah yang tersimpan di hati anak-anak bangsa
yang masih tegar melafalkan nama Indonesia
meskipun mereka tak lagi tahu, apa yang bisa mereka banggakan
saat menatap langit Indonesia.
Gerakkan lehermu, putarlah kepalamu!
Tengoklah lambaian anak-anak bangsa di seluruh persada
mengibarkan harapan pada tiang bendera yang terpancang sepi

Bangkitlah, hai Garuda! Rentangkan sayapmu!
Jangan hanya hinggap di istana dan Senayan
sementara kutu dan tikus menyelinap di sela-sela bulumu
yang sudah busuk oleh aroma mulut yang tak henti bicara tanpa bukti
bulu-bulumu sudah sangat tebal, menutup mata, telinga dan dadamu
Kepakkan, Kepakkan sayapmu keras-keras!
Terbanglah di angkasa Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua
mandilah dengan timbunan air di awan dan mendung
agar tampak lagi pribadimu, agar jelas lagi warnamu
agar tajam lagi mata, telinga, dan hatimu menangkap kehendak anak-anak bangsa
dan agar terkuak kegelapan langit Indonesia.

Bangkitlah, hai Garuda! Bukalah cakarmu!
Goreskan di lembaran dunia tentang tekad anak-anak bangsa
Tunjukkan kegagahanmu, buktikan bahwa kau bukan burung boneka
Keroklah warna kelabu pada selendang yang kau bawa
agar tampak warna pelangi menjadi titian harapan
Robekkan segala pujian palsu tentang kehebatan demokrasi
karena anak-anak bangsa sudah muak dengan kampanye
yang mereka tahu, ini adalah negara Indonesia
bukan milik partai yang rakus menghisap darah bangsa
Mereka ingin segera menjadi rakyat adil, makmur, sentosa
seperti yang senantiasa mereka nyanyikan

Bangkitlah segera, hai Garuda, jika mau bangkit
Jika tidak, maka pasunglah paruhmu!
Jangan lagi berkoar!
Biarkan saja kami berkarya bersama gajah, kerbau, kambing, ayam, lebah, dan semut
atau apa sajalah, mungkin juga dengan burung perkutut atau cicakrowo.
Tapi jangan khawatir, kami tetap membawa selembar merah putih
untuk berlindung dari panasnya matahari, derasnya angin, dan lebatnya hujan.

Pasir Gudang, 9 Mei 2011
Amir Ma’ruf Husein

0 komentar:

Posting Komentar