PUISI LAPAR

(Menyusuri rahmat di bulan Ramadhan)
Pak... Minta makan, Pak...
Mulut kelaparan anak istriku sudah menganga
menunggu sesuap harapan dari orang-orang yang menyimpan milik kami
tapi ketika mereka lewat, mulut ketamakan mereka pun menganga juga
lebih lebar dari mulut-mulut kami
dan semua milik kami pun dilahapnya tanpa sisa
kaki-kaki kami terbirit-birit penuh luka
karena kami tak ingin menjadi mangsa
dan ketika kami terduduk memandang darah dan daging di ujung jari
kami menelan ludah yang sudah kering dengan terpaksa
karena kami tidak ingin menjadi kanibal

Bu... Minta makan, Bu...
Perut kelaparan anak istriku sudah membuncit
berisi harapan kosong yang ditiupkan oleh topeng-topeng palsu
bosan kami menunggu uluran tangan yang tak jijik menyentuh
karena perut kesombongan mereka yang lebih buncit
terlebih dahulu menggusur kami dari jalur yang menjadi hak kami
gigi-gigi kami tak bisa mengunyah apa yang mereka nikmati
karena perut kami hanya terbiasa dengan makanan
yang diikhlaskan, yang dihalalkan
Jika sewaktu-waktu terdengar alunan suara dari rongga perut kami
Aku tak yakin, shalawatkah itu? atau sebuah tangisan pilu?

Hei... Aku minta makan...!
Mana mungkin aku bisa membaca untuk mengisi otakku
Jika darahku mengalir lamban tak punya daya?
Mana mungkin aku bisa menggoreskan karya menjunjung panji
Jika ototku meringkuk pedih kehabisan tenaga?
Mana mungkin aku bisa menggiring bola melambungkan prestasi
Jika menanggung badan pun aku sudah tak mampu?
Oooh...! Kalian tak mendengar suaraku yang tak berbunyi
Tapi bagaimana aku bisa mengantarkan pesan ke telinga tuli?
Bagaimana aku bisa mengirim sandi ke mata yang tak sudi?
Ketika aku sudah tak punya apa-apa lagi

Tuhan...!
Aku lapar...
Anak istriku lapar...
Sepanjang waktuku adalah apa yang mereka sebut Ramadhan
Aku heran mengapa Kau datangkan lagi Ramadhan bagi mereka
yang tidak tahu bahwa aku lapar, bersama anak istriku?
Maafkan aku, Tuhan, jika aku tak sopan
Tapi... katakan padaku bahwa Engkau pun lapar
agar aku bisa menghibur anak istriku untuk menahan lapar.

Taliwang, 7 Agustus 2011
Amir Ma’ruf Husein

0 komentar:

Posting Komentar